Skip to content

Bedah Kasus Koreksi Force of Attraction terkait kegiatan Procurement di Indonesia

Alasan Koreksi

Koreksi atas Force of Attraction dapat terjadi atau dilakukan oleh Pemeriksa jika dalam transaksi Wajib Pajak di Indonesia dengan Wajib Pajak Luar Negeri yang memiliki perwakilan di Indonesia.

Procurement merupakan pekerjaan jasa konstruksi terintegrasi sedangkan nilai kontrak jasa konstruksi adalah nilai yang tercantum dalam satu kontrak jasa konstruksi secara keseluruhan. Pada dasarnya aktivitas procurement dari kantor pusat BUT dapat dilakukan oleh BUT atau pihak mempunyai hubungan kegiatan usaha dengan BUT-nya di lndonesia dalam rangka melaksanakan kontrak. Dengan demikian penyerahan impor oleh kantor pusat BUT kepada pemilik proyek merupakan bagian pekerjaan pelaksanaan konstruksi sehingga nilai impor dianggap merupakan obyek PPh Pasal 4 ayat (2).

Argumentasi dan Penjelasan

Bahwa pada dasarnya UU PPh Pasal 5 ayat (1) telah mengatur jenis penghasilan yang menjadi Obyek Pajak bentuk usaha tetap (BUT) sebagai berikut:

  • Pasal 5 ayat (1) huruf a:
    ” Penghasilan dari usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap tersebut dan dari harta yang dimiliki atau dikuasai; (atribusi faktual)”
  • Pasal 5 ayat (1) huruf b:
    “Penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang, atau pemberian jasa di lndonesia yang sejenis dengan yang dijalankan atau yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap di lndonesia. (force of attraction)”
  • Pasal 5 ayat (1) huruf c:
    “Penghasilan sebagaimana tersebut dalam Pasal 26 yang diterima atau diperoleh kantor pusat, sepanjang terdapat hubungan efektif antara bentuk usaha tetap dengan harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan dimaksud. ” (effectively connection rule)”

Bahwa transaksi yang menjadi contoh dalam kasus yang kami tangani adalah transaksi dengan resident negara Treaty Partner lndonesia yaitu negara China. Oleh karena terlebih dahulu harus ditentukan hak pemajakannya sesuai ketentuan Tax Treaty antara Negara lndonesia dan Negara China. Jika kasusnya dengan Negara lain mungkin bisa diperhatiakn bunyi Tax Treaty dari negara Treaty Partner yang kita hadapi.

Bahwa Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda lndonesia-China yang berlaku sejak 2004 pasal 7 ayat (1) P3B tersebut mengatur tentang bagian penghasilan suatu perusahaan yang dapat dialokasikan kepada BUT.

“The profits of an enterprise of a contracting state shall be taxable only in that contracting state unless the enterprise carries on business in the other contracting state through a permanent establishment situated therein. If the enterprise carries on business aforesaid, the profits of an enterprise may be taxed in the other contracting state but only so much of them directly or indirectly attributable to that permanent establishment. The provision of this paragraph shall, however, not apply if the enterprise proves that the above activities are not undertaken by the permanent establishment or have no relation with the permanent establishment.”

Oleh karena itu, berdasarkan ketentuan di atas, maka dalam hal ini sebagai Wajib Pajak kita dapat menggunakan argumentasi dari Pasal 5 ayat 1 huruf a sampai dengan c dengan alasan sebagai berikut:

Prinsip force attraction

Bahwa UU PPh Pasal 5 ayat (1) huruf b mengatur jenis penghasilan BUT yang bersifat force attraction.

Bahwa sifat force of attraction juga dapat diketahui dengan membandingkan antara P3B lndonesia – China dengan UN Model.

Pasal 7 ayat (1) UN Model:

“The profits of an enterprise of a contracting state shall be taxable only in that state unless the enterprise carries on business in the other contracting state through a permanent establishment situated therein. If the enterprise carries on business as aforesaid, the profits of the enterprise may be taxed in the other state but only so much of them as is attributable to (a) that permanent establishment (b) sales in that other state of goods or merchandise of the same or similar kind as those sold through that permanent establishment; or (c) other business activities carried on in that other state of the similar kind as affected through that permanent establishment.”

Frasa “(b) sales in that other state of goods or merchandise of the same or similar kind as those sold through that permanent establishment;” adalah klausul force of attraction yang tidak terdapat dalam pasal 7 ayat (1) P3B lndonesia – China.

Bahwa paragraph 12 OECD Commentary atas Pasal 7 OECD Model menjelaskan bahwa :

“The second principle, which is reflected in the second sentence of the paragraph, is that the right to tax of the State where the permanent establishment is situated does not extend to profits that the enterprise may derive from that State but that are not attributable to the permanent establishment…”

Bahwa berdasarkan Paragraf 12 OECD Commentary atas Pasal 7, diketahui bahwa rumusan dalam pasal 7 ayat (1) OECD Model mencegah penerapan prinsip ‘force of attraction’. Mengacu pada OECD Commentary atas Pasal 7, hanya atas bagian laba yang berasal dari BUT saja yang dapat dipajaki di negara tempat BUT berada (attributable principle). Dengan demikian, prinsip force of attraction atas pemajakan laba usaha tidak dapat diberlakukan.

Prinsip Effectively Connection Rule

Bahwa UU PPh Pasal 5 ayat (1) huruf c mengatur bahwa:

“penghasilan sebagaimana tersebut dalam Pasal 26 yang diterima atau diperoleh kantor pusat, sepanjang terdapat hubungan efektif antara bentuk usaha tetap dengan harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan dimaksud.”

Berdasarkan penjelasan diatas dapat diketahui dengan jelas batasan penghasilan kantor pusat yang ditetapkan sebagai penghasilan BUT berdasarkan hubungan efektif yaitu penghasilan yang diatur dalam Pasal 26 UU PPh.

Bahwa UU PPh Pasal 26 ayat (1) mengatur:

Atas penghasilan tersebut di bawah ini, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau penvakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di lndonesia dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto oleh pihak yang wajib membayarkan:

  1. dividen;
  2. bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang;
  3. royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
  4. imbalan sehubungan dengan kegiatan;
  5. hadiah dan penghargaan;
  6. pensiun dan pembayaran berkala lainnya;
  7. premi swap dan transaksi lindung nilai lainnya; dan/atau
  8. keuntungan karena pembebasan utang.

Berdasarkan penjelasan Pasal 26 diatas, dapat diketahui dengan jelas bahwa procurement bukanlah jenis penghasilan yang dimaksud dalam UU PPh Pasal 26 sehingga tidak dapat ditetapkan sebagai penghasilan BUT melalui prinsip effectively connection.

Prinsip Atribusi

Bahwa berdasarkan uraian diatas, dapat diketahui bahwa penghasilan yang termasuk penghasilan BUT dalam P3B Indonesia-china Pasal 7 ayal (1) hanya bersifat atribusi. Namun demikian dalam klausul Pasal 7 ayat (1) P3B lndonesia – China tersebut terdapat kekhususan yaitu frasa “indirectly attributable“.

Bahwa frasa tersebut harus diperjelas apakah dapat diartikan sebagai prinsip force of attraction.

Bahwa frasa yang berbeda tersebut tidak boleh diinterpretasikan masing-masing negara sesuai kepentingannya namun harus diinterpretasikan dengan cara yang dapat diterima secara internasional. Hal ini sebagaimana diatur dalam The Vienna Convention on Law of Treaties (VCLT) Pasal27:

“A party may not invoke the provisions of its internal laws as justification for its failure to perform a treaty…”

Lebih lanjut, Pasal dalam Vienna Convention on Law of Treaties pernah dibahas dalam bukunya Sumaryo Suryokusumo dalam buku “Hukum Diplomatik Teori dan Kasus“, yaitu pendekatan dalam interpretasi suatu Perjanjian Penghindaran pajak Berganda (P3B) adalah sesuai dengan landasan teori serta praktik internaiional. Semua perjanjian internasional bermuara pada The Vienna Convention on Law of Treaties (VCLT) sebagai induk dari perjanjian internasional. VCLT mengatur antara lain pedoman atau prosedur dalam melakukin interpretasi suatu ketentuan dalam suatu perjanjian.

Yang mana teori tersebut harus dijalankan sebagaima VCLT Pasal 31 ayat (1):

“A treaty shall be interpreted in good faith in accordance with the ordinary meaning to be given to the terms of the treaty in their context and in the light of its object and purpose.”

dan dalam Article 32:

“Recourse may be had to supplementary means of interpretation, including the preparatory work of the treaty and the circumstances of its conclusion, in order to confirm the meaning resulting from the application of article 31, or to determine the meaning when the interpretation according to article 31:
a) Leaves the meaning ambiguous or obscure; or
b) leads to a result which is manifestly absurd or unreasonable,

Ketentuan Pasal 32 tersebut memberikan kemungkinan bahan-bahan atau dokumen lain yang penting sebagai pelengkap untuk keperluan interpretasi untuk menghindari interpretasi yang tidak jelas, absurd sebagaimana diatur dalam Pasal 31, atau untuk menegaskan interpretasi berdasarkan penerapan Pasal 31.

Argumentasi di atas mungkin tidak asing karena sering dipakai sebagai argumentasi dalam kasus sengketa tarif DGT form.

Dalam praktik dasar yang digunakan dalam negosiasi P3B adalah OECD dan United Nations Model oleh karena itu kedua model tersebut dipakai sebagai acuan dalam memberikan interpretasi P3B. OECD beserta commentary-nya, merupakan landasan teori karena model convention dan commentary tersebut dapat diterima oleh dunia internasional untuk memberikan interpretasi dari P3B secara keseluruhan.

Bahwa dalam OECD Model dan Commentary-nya serta penjelasan terminologi dalam Pasal 3 P3B lndonesia – China, tidak terdapat rujukan penjelasan frasa “indirectly attributable

Jika berargumen hal tersebut tidak diatur untuk memberikan keleluasaan definisi kepada penegak hukum, dalam hal ini Pemeriksa Pajak, maka akan menimbulkan ketidakpastian hukum.

Bahwa didalam beberapa P3B negara lain terdapat penjelasan terminologi “indirectly attributable” tersebut yaitu :

  • P3B lndia-Vietnam Pasal 7 ayat(1)
  • P3B lndia – lnggris Pasal 7 ayat (1) dan (3)
  • P3B lndia – Singapura Pasal 7 ayat (1) dan (5)
  • P3B lndia – Jepang Pasa 7 ayat l dan Note 6

Seluruh P3B tersebut diatas mensyaratkan adanya peran BUT dalam transaksi tersebut dimana untuk P3B lndia – Jepang dan lndia – lnggris, peran itu ditentukan dalam hal BUT memiliki peran untuk bernegosiasi, menyepakati dan menutup kontrak, sedangkan dalam P3B lndia – Singapore dan lndia – Jepang hanya disebutkan dalam hal BUT memiliki peran.

Dalam hal ini kami dapat membandingkan P3B tersebut sebagai pembanding karena pernah membaca P3B Negara Asia lainnya sehingga dapat diperbandingkan jika tidak terdapat “Saving Clause” dalam P3B, maka Negara yang mengikat perjanjian P3B tidak boleh mendefinisikan arti secara sepihak.

Bahwa dalam hal ini kami berpendapat adanya peran atau keterlibatan BUT dalam aktivitas kantor pusatnya menunjukkan bahwa frasa ” indirectly attributable” bukanlah prinsip “force of attraction” karena prinsip “force of attraction” tidak memerlukan peran untuk menetapkan penghasilan kantor pusat sebagai penghasilan BUT.

Berdasarkan seluruh uraian tentang penelitian tentang jenis Penghasilan BUT dalam P3B lndonesia – China Pasal 7 ayat (1) dapat disimpulkan:

“Laba yang dapat diatribusikan kepada BUT adalah Iaba yang diperolehnya dari menjalankan usaha (directly) atau dari peran serta BUT terhadap aktivitas kantor pusatnya di Indonesia (indirectly).”

Pembatasan atribusi dengan frasa “not undertaken” or “have no relation” dalam P3B lndonesia – China Pasal 7 avat (1) Makna “not undertaken” sudah jelas, yang bermakna tidak melakukan atau tidak terlibat. Demikian juga frasa have no relation yang bermakna tidak berhubungan atau tidak terkait. Bahwa frasa ini dapat dipastikan berhubungan dengan prinsip “indirectly attributable“.

Kesimpulan berdasarkan argumentasi diatas

“Laba yang dapat diatribusikan kepada BUT adalah laba yang diperolehnya dari menjalankan usaha (directly) atau dari peran serta BUT terhadap aktivitas kantor pusatnya di lndonesia (indirectty). Namun jika BUT dapat membuktikan bahwa aktivitas kantor pusat tidak dapat dilakukannva atau aktivitas kantor pusat tidak berhubunqan dengan aktivitasnya, maka laba kantor pusat tidak dapat diatribusikan ke BUT.

Bahwa kata “or” / “atau” merupakan syarat alternatif. BUT dalam hal ini cukup membuktikan satu dari dua syarat pembatasan atribusi. Apabila terpenuhi satu syarat maka maka laba kantor pusat tidak dapat diatribusikan ke BUT.

Bahwa kegiatan procurement oleh kantor pusat mempunyai hubungan kegiatan dengan pekerjaan konstruksi BUT yaitu dalam rangka menyelesaikan proyek pemerintah.

Bahwa BUT tidak terlibat atau memiliki peran dalam bernegosasi dan menyepakati kontrak procurement untuk proyek.

Bahwa dalam kasus kami, Wajib Pajak terdaftar kebetulan terdaftar sebagai perusahaan jasa konstruksi, dan bukan perusahaan dagang. Oleh karena itu, Wajib Pajak tidak memiliki kapasitas yang memungkinkan untuk melakukan kegiatan impor barang karena Wajib Pajak tidak dapat memiliki Angka Pengenal lmpor (APl).

Disclaimer: Tulisan ini murni hasil kasus yang ditangani oleh tim Konsultan kami terkait kasus yang kami tangani, hasil dengan argumentasi yang sama mungkin saja berbeda dengan kasus yang mungkin berbeda pula sehingga tulisan ini murni argumentasi penulis yang mana dalam kasus telah selesai dan argumentasi dari penulis telah dapat diterima untuk kasus ini.

Contoh putusan Pengadilan yang ditolak terkait dengan P3B Indonesia – China

PUT-115008.35/2011/PP/M.VIB Tahun 2018

“Majelis berpendapat dan berkeyakinan bahwa kegiatan pengadaan ‘power station‘ yang dilakukan oleh …………………………..  adalah berkaitan (have relation with) kegiatan yang dilakukan oleh XXX Co., Ltd. dalam rangka menyelesaikan keseluruhan persyaratan yang diatur dalam kontrak. Bahwa dengan demikian Majelis berkesimpulan bahwa Indonesia berhak melakukan pengenaan pajak terkait procurement sesuai dengan ketentuan Pasal 7 ayat (1) P3B antara Negara Indonesia dengan China; bahwa Majelis berkesimpulan dan berkeyakinan bahwa koreksi Terbanding sudah sesuai dengan ketentuan yang berlaku, oleh karenanya Majelis menolak banding Pemohon Banding atas sengketa banding berupa koreksi peredaran usaha yang berasal dari procurement senilai Rp623.004.865.663,00. Bahwa oleh karenanya Majelis berkesimpulan koreksi Dasar Pengenaan Pajak Penghasilan Final Pasal 23/26 Masa Pajak Januari s.d. Desember 2011 sebesar Rp 623.004.865.663,00 sudah sesuai dengan ketentuan yang berlaku sehingga Majelis menolak banding Pemohon Banding.”

PUT-105693.35/2010/PP/M.VIB Tahun 2018

“Bahwa berdasarkan pemeriksaan Majelis atas kontrak a quo khususnya ketentuan-ketentuan (Chapter) tersebut diatas, Majelis berkeyakinan bahwa Pemohon Banding mempunyai hubungan langsung maupun tidak langsung dengan seluruh aktivitas-aktivitas dalam proyek a quo termasuk procurement. bahwa dengan fakta sedemikian, Majelis berpendapat bahwa dalam kontrak a quo, antara Pemohon Banding dan induknya yaitu …………………………, adalah merupakan satu kesatuan usaha yang tidak terpisahkan dalam melaksanakan kontrak yaitu pengadaan “power station“ yang sudah siap beroperasi pada saat diserahkan kepada PT ……………… melalui suatu “turn key project“. Dengan demikian Majelis berkesimpulan bahwa Indonesia berhak melakukan pengenaan pajak terkait procurement sesuai dengan ketentuan Pasal 7 ayat (1) P3B antara Negara Indonesia dengan China. Majelis berkesimpulan dan berkeyakinan bahwa koreksi Terbanding sudah sesuai dengan ketentuan yang berlaku, oleh karenanya Majelis menolak banding Pemohon Banding atas sengketa banding berupa koreksi peredaran usaha yang berasal dari procurement senilai Rp 849.539.565.154,00.”

Pada putusan-putusan yang tidak dikabulkan, setelah dilakukan penelitian terhadap dokumen kontrak, tidak ditemukan bukti dan alasan yang kuat bahwa “procurement’ tersebut merupakan kegiatan yang tidak dapat dilakukan oleh BUT di Indonesia sehingga dapat ditegaskan bahwa penyerahan “procurement” mempunyai hubugan efektif dengan Wajib Pajak karena memenuhi salah satu syarat “not undertaken” atau “have no relation” atau dalam hubungannya dengan “indirectly attributable”. Padahal dalam hal ini Wajib Pajak merujuk pada ketentuan yang sama dan yang berlaku yaitu Tax Treaty Indonesia – China.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *